Rabu, 30 Juli 2008

Kaya di Desa Transmigran, Sudah Biasa
halaman satu. net 26-01-07 08:44
PDF Cetak E-mail

Foto : Deptan.go.id
Kelapa sawit, mendongkrak ekonomi Desa Bukit Harapan
Deretan rumah tembok dilengkapi parabola merupakan pemandangan yang sangat biasa di Desa Bukit Harapan, Kecamatan Merlung, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. Beberapa rumah bahkan dibangun dengan gaya modern, dilengkapi dengan gazebo.

Rumah batu ini menggantikan rumah papan yag diberikan pemerintah pada transmigran perkebunan inti rakyat (PIR) di awal tahun 1991 lalu. Atap seng kini sudah berubah dengan atap genteng. Kalaupun masih dijumpai rumah papan, itupun sudah berbeda dengan kondisi semula. Renovasi dan tambahan sana-sini, menjadikan rumah tersebut lebih layak huni.

Meski belum teraliri listrik pemerintah, di malam hari desa itu tetap benderang dengan diesel. Paling tidak terdapat 880 unit diesel di desa tersebut. Di tiap tiga rumah mereka menggunakan satu diesel. "Sebetulnya lebih murah bila sudah ada listrik, tetapi sampai sekarang belum sampai ke sini," ujar Harsono, Ketua KUD Karya Jaya yang siang itu mengundang saya ke rumahnya. Pengeluaran untuk solar bisa mencapai ratusan ribu rupiah perbulan. Selain listrik, mereka juga belum mendapatkan jalan beraspal.

Di desa ini pada awalnya yang ada hanyalah kemiskinan. Tetapi kini, sebagian besar sudah menjadi petani plasma sawit PT Inti Indosawit Subur yang berhasil. Setiap tanggal gajian – istilah mereka ketika menerima uang hasil setoran sawit dari perusahaan – mereka menggelar pasaran di jalan utama depan pemukiman mereka.

Fasilitas pendidikan untuk anak-anak mereka pun sudah tersedia dari TK hingga SMU. Bahkan SMU perintis yang ada di desa tersebut sudah menghasilkan enam kali kelulusan. Beberapa diantaranya memilih Jambi untuk melanjutkan pendidikan. Untuk melancarkan aktivitas sehari-hari mereka sudah menggunakan sepeda motor, padahal dulunya hanya mengayuh sepeda onthel di antara jalan berdebu.

Bila masing-masing kota besar memakai slogan untuk menegaskan ruh kotanya, Desa Bukit Harapan tidak mau kalah. Slogannya Desa Bukit Harapan Biasa Saja.Kepanjangan dari Bersih, Indah, Aman, Santosa dan Bersahaja. Menariknya, slogan ini juga mereka resapi dalam kehidupannya. Tidak heran kalau mendapatkan penghasilan minimal Rp 2,5 juta perbulan, mereka akan bilang, "biasa saja."

Modal Ikan Asin

Perputaran uang di Koperasi Unit Desa (KUD) Karya Jaya yang cukup tinggi ternyata menjadi incaran perampok. Pada tahun 2000 lalu, petugas KUD yang membawa uang sebanyak Rp 400 juta dirampok dalam perjalanan menuju ke desa. "Sedih sih tapi, ya akhirnya cuma bisa berujar biasa saja,"ujar Ketua KUD Harsono.

Meskipun begitu, mereka tidak mau lagi lengah. Selain menyewa tenaga keamanan, mereka juga menjadi satpam desa. Caranya, setiap tanggal gajian, warga berjaga-jaga di setiap persimpangan jalan desa. Perputaran uang di KUD bisa mencapai lebih dari satu miliar untuk memenuhi kebutuhan pupuk dan penjualan hasil sawit ke perusahaan inti.

Foto : foodmania.blogsome.com
Ikan asin, modal awal KUD Desa Bukit Harapan
Padahal dulunya, untuk membangun KUD pun mereka tidak memiliki uang sama sekali. Dari jatah ikan asin yang diterima transmigran sebanyak lima kilogram perbulannya, mereka kumpulkan sebagian dan dijual. Hasilnya dijadikan simpanan pokok dan simpanan wajib.
Dengan luas lahan 800 hektar ditambah 10 hektar tanah kas desa (TKD) yang dibagikan masing-masing 0,5 hektar pada petani, total lahan ini diperuntukkan 400 kepala keluarga yang dibagi dalam 20 kelompok tani. Hasil produksi rata-rata perbulan dari seluruh kelompok tani tersebut 1.800 ton perbulan. Bagi petani plasma sawit di satuan pemukinan (SP) 4 ini sudah biasa menerima gaji Rp 2,5 juta perbulan untuk satu kapling. Padahal seperti Harsono misalnya mempunyai enam kapling yang setara dengan pendapatan Rp15 juta perbulan. Ada pula yang memiliki 20 kapling.

Kapling-kapling tambahan ini mereka dapatkan dengan membeli dari petani plasma yang memilih kembali ke kampung halaman. Tebusan untuk kapling lahan sawit waktu itu sekitar Rp300.000. Padahal pasaran saat ini mencapai Rp 60 hingga 80 juta perkapling.

Transmigran PIR ini antara lain berasal dari Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Barat. Dari 400 KK, 50 KK merupakan warga lokal. Tetapi hampir sebagian besar warga lokal tidak bertahan lama jadi transmigran. Kini mungkin hanya tersisa 6 KK saja. "Ini berkaitan dengan etos kerja masing-masing. Yang bertahan hanya mereka yang tekun dan dan yakin dengan perubahan hidup yang lebih baik,"ujar Regional Head Plantation III Jambi Yanus Situmorang kepada SH di kantornya.

Jumlah ini masih ditambah dengan pendatang baru dari Aceh pada tahun 2003 lalu sebanyak 12 KK. Mereka korban dari konflik berkepanjangan di Aceh. Sayangnya, tidak ada lagi jatah lahan untuk mereka. Pemerintah hanya memberikan bantuan Rp7,5 juta per kepala keluarga.

Bukan hanya petani plasma yang mampu membeli kendaraan bermotor. Bahkan hampir semua tenaga upahan mampu membeli kendaraan roda dua. Tenaga upahan ini mempunyai standar upah yang seragam. Untuk memetik sawit tenaga mereka dihargai Rp 65.000 per ton, pemupukan Rp5.000 persak, untuk menyemprot perkapling tidak kurang mereka mendapatkan upah Rp 300.000, upah ini menjadi naik dua kali lipat untuk menebas pohon. Sedangkan bila bekerja serabutan di ladang, mereka akan mendapatkan Rp 25.000 hingga Rp40.000, tergantung lama kerjanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Masuk