Rabu, 30 Juli 2008

Penduduk Asli Semakin Terpinggir

Kompas 1 juni 2001
SUDAH belasan tahun perkebunan dan industri perkayuan skala besar dibuka di Kecamatan Tungkal Ulu dan Merlung, Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Tanjabbar), Jambi. Apakah warga di sana sudah sejahtera dengan kehadiran mesin uang itu ?

Jawabannya bisa, ya, bisa juga tidak. Banyak elite desa yang menjadi kaya, karena dimanfaatkan investor untuk pembebasan tanah, melakukan penebangan kayu secara liar dan sebagainya.

Hanya saja, secara umum masyarakat di desa-desa asli pada dua kecamatan itu makin terpinggirkan dan hanya menjadi penonton. Mereka belum siap dan tidak pernah disiapkan, untuk memiliki bekal pendidikan dan keterampilan yang cukup untuk ikut berkompetisi dalam merebut peluang kerja dan usaha yang ada dengan aglomerasi industri dan perkebunan itu. Mereka praktis tertinggal segala-galanya.

Dampak dibukanya jalan lintas timur Sumatera (JLTS) di Provinsi Jambi, khususnya Ka-bupaten Tanjabbar, memang luar biasa besar. Di samping aglomerasi industri perkayuan dan perkebunan, Kecamatan Mer-lung dan Tungkal Ulu berkembang dengan pesat. Pusat-pusat perekonomian dan perdagangan baru, seperti Merlung, Suban, Tamanraja dan Tebingtinggi, tumbuh. Muncul berbagai kegiatan usaha, semisal stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU), rumah makan, warung, atau bengkel.

Setelah era reformasi, kekurangan dan ketertinggalan masyarakat setempat dalam menangkap peluang kerja, usaha, dan kegiatan bisnis tumbuh menjadi bibit konflik yang subur. Masyarakat dengan bantuan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) melakukan unjuk rasa ke DPRD kabupaten dan provinsi. Menggugat dan menuntut sebagian lahan yang digunakan para investor dan sudah jadi perkebunan kelapa sawit dikembalikan kepada mereka.

Dalihnya memang klise. La-han tersebut adalah warisan, ta-nah adat, hak ulayat, yang dicaplok begitu saja, dibayar dengan ganti rugi rendah dan sebagainya. Masyarakat bukan hanya sekadar menuntut, tetapi juga mengancam perusahaan agar mengembalikan lahan, menyerahkan kebun yang sudah jadi, atau membayar lagi ganti rugi serta tuntutan mengukur ulang.

Lebih jauh, masyarakat melakukan panen terhadap kelapa sawit milik perusahaan yang berada di lokasi yang mereka tuntut, merusak dan membakar rumah karyawan perusahaan, alat berat dan sebagainya. Hampir setiap perusahaan atau investor yang menanamkan modalnya di Merlung dan Tungkal Ulu mengalami tuntutan dan gugatan dari masyarakat setempat.

***

PEMBANGUNAN JLTS akhir tahun 1980-an yang melewati Provinsi Jambi bertujuan untuk kelancaran lalu lintas di Pulau Sumatera. Di Jambi, secara langsung berakibat terbukanya daerah terisolir, yaitu Kecamatan Merlung dan Tungkal Ulu di Kabupaten Tanjabbar.

Terbukanya JLTS memberi dampak, sebagian masyarakat tergoda dengan barang-barang konsumtif, seperti televisi, sepeda motor dan perabotan rumah tangga lainya yang merambah sampai ke desa-desa terpencil. Seiring dengan itu, bujuk rayu para pendatang, pemilik uang dan pengusaha dari kota menyebabkan sebagian penduduk melepaskan atau menjual tanah warisan milik mereka yang berada di pinggir jalan JLTS itu.

Tanah yang dijual itu sebelumnya memang tidak menghasilkan, karena tidak diolah, sebagian merupakan perkebunan karet tua yang lebih mirip hutan. Perlahan tetapi pasti, hektar demi hektar tanah milik penduduk asli Kecamatan Merlung dan Tungkal Ulu berpindah kepemilikan dari penduduk asli kepada pendatang.

Di tangan para pendatang, pemilik uang, pensiunan birokrat yang memiliki modal, pengetahuan dan pendidikan, akses kepada teknologi, tanah tersebut diubah menjadi areal perkebunan kelapa sawit yang produktif.

"Kepala Desa Suban, Kecamatan Tungkal Ulu melaporkan kepada saya bahwa nantinya, anak kemenakan mereka berkebun dan tinggal tidak lagi di pinggir JLTS, tapi dua - tiga kilometer masuk ke dalam/belakang. Sebagian besar lahan milik penduduk desa setempat yang berada di pinggir JLTS sudah dijual," kata Bupati Tanjabbar, Usman Ermulan hari Jumat 25 Mei lalu.

"Saya minta kepada kepala desa di Merlung dan Tungkal Ulu, agar masyarakat tidak lagi melakukan penjualan lahan strategis di pinggir jalan dan lahan produktif lainnya. Lahan yang sudah dijual agar diukur dengan benar, kalau yang dijual itu satu hektar, sudahlah satu hektar itu saja. Jangan sampai ditambah lagi ke belakang," tambah Usman. Penduduk ada yang menjual dua hektar, lima hektar, bahkan 10 - 20 hektar.

Keprihatinan dan kecemasan terhadap derasnya arus penjualan lahan masyarakat di Kecamatan Tungkal Ulu dan Merlung, Kabupaten Tanjabbar kepada pendatang tidak hanya dikemukakan Kepala Desa Suban. Sejumlah pejabat di Provinsi Jambi juga merasakan hal yang sama. Perpindahan lahan ini jika tidak ditangani secara pas dan bijak, bisa merupakan bibit konflik horizontal pada masa datang.

"Kami sudah berusaha mencegah dengan cara mengimbau penduduk agar tidak menjual lahan miliknya. Kami sedang merintis mendirikan pesantren moderen di Tungkal Ulu untuk menampung putra-putri setempat dan daerah sekitar. Masyarakat setempat diikutkan pada proyek perkebunan pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) dan Kredit Koperasi Primer untuk Anggota (KKPA)," ungkap Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jambi, Muhammad Aman yang asli Merlung.

"Sedang diupayakan agar lahan masyarakat yang masih ada di Merlung dan Tungkal Ulu dibuka untuk perkebunan karet dengan teknologi moderen dan menggunakan bibit unggul. Sosialisasi analisa usaha perkebunan karet sedang dilakukan secara intensif kepada masyarakat setempat," tambah Mu-hammad Aman. (Nasrul Thahar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Masuk